1. PENGERTIAN
pengguna JASA KONSTRUKSI
Pengertian “konstruksi” adalah
suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana yang meliputi pembangunan
gedung (building construction), pembangunan prasarana sipil (Civil Engineer),
dan instalasi mekanikal dan elektrikal. Walaupun kegiatan konstruksi
dikenal sebagai suatu pekerjaan, tetapi dalam kenyataannya konstruksi merupakan
suatu kegiatan yang terdiri dari beberapa pekerjaan lain yang berbeda yang
dirangkai menjadi satu unit bangunan, itulah sebabnya ada bidang/sub bidang
yang dikenal sebagai klasifikasi.
Menurut Undang-undang tentang Jasa
konstruksi, “Jasa Konstruksi” adalah layanan jasa konsultansi perencanaan
pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan
jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. “Pekerjaan Konstruksi”
adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau
pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya
untuk mewujudkan suatu bangunan.
Dari pengertian dalam UUJK tersebut
maka dalam masyarakat terbentuklah “USAHA JASA KONSTRUKSI”, yaitu usaha tentang
“jasa” aatau services di bidang perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi
yang semuanya disebut “PENYEDIA JASA”
Disisi lain muncul istilah “PENGGUNA JASA” yaitu yang memberikan pekerjaan yang bisa berbentuk orang perseorangan, badan usaha maupun instansi pemerintah.
Pada umumnya kegiatan konstruksi dimulai dari perencanaan yang dilakukan oleh konsultan perencana (team Leader) dan kemudian dilaksanakan oleh kontraktor konstruksi yang manajer proyek/kepala proyek. Orang-orang ini bekerja didalam kantor, sedangkan pelaksanaan dilapangan dilakukan oleh mandor proyek yang mengawasi buruh bangunan, tukang dan ahli bangunan lainnya untuk menyelesaikan fisik sebuah konstruksi. Transfer perintah tersebut dilakukan oleh Pelaksana Lapangan. Dalam pelaksanaan bangunan ini, juga diawasi oleh Konsultan.
Dalam melakukan suatu konstruksi biasanya dilakukan sebuah perencanaan terpadu. Hal ini terkait dengan metode penentuan besarnya biaya yang diperlukan, rancang bangun, dan efek lain yang akan terjadi saat pelaksanaan konstruksi. Sebuah jadual perencanaan yang baik, akan menentukan suksesnya sebuah bangunan yang terkait dengan pendanaan, dampak lingkungan, keamanan lingkungan, ketersediaan material, logistik, ketidaknyamanan publik terkait dengan pekerjaan konstruksi, persiapan dokumen tender, dan lain sebagainya.
Disisi lain muncul istilah “PENGGUNA JASA” yaitu yang memberikan pekerjaan yang bisa berbentuk orang perseorangan, badan usaha maupun instansi pemerintah.
Pada umumnya kegiatan konstruksi dimulai dari perencanaan yang dilakukan oleh konsultan perencana (team Leader) dan kemudian dilaksanakan oleh kontraktor konstruksi yang manajer proyek/kepala proyek. Orang-orang ini bekerja didalam kantor, sedangkan pelaksanaan dilapangan dilakukan oleh mandor proyek yang mengawasi buruh bangunan, tukang dan ahli bangunan lainnya untuk menyelesaikan fisik sebuah konstruksi. Transfer perintah tersebut dilakukan oleh Pelaksana Lapangan. Dalam pelaksanaan bangunan ini, juga diawasi oleh Konsultan.
Dalam melakukan suatu konstruksi biasanya dilakukan sebuah perencanaan terpadu. Hal ini terkait dengan metode penentuan besarnya biaya yang diperlukan, rancang bangun, dan efek lain yang akan terjadi saat pelaksanaan konstruksi. Sebuah jadual perencanaan yang baik, akan menentukan suksesnya sebuah bangunan yang terkait dengan pendanaan, dampak lingkungan, keamanan lingkungan, ketersediaan material, logistik, ketidaknyamanan publik terkait dengan pekerjaan konstruksi, persiapan dokumen tender, dan lain sebagainya.
Sehingga pengertian utuhnya dari
Usaha Jasa Konstruksi adalah salah satu usaha dalam sektor ekonomi yang
berhubungan dengan suatu perencanaan atau pelaksanaan dan atau pengawasan suatu
kegiatan konstruksi untuk membentuk suatu bangunan atau bentuk fisik lain yang
dalam pelaksanaan penggunaan atau pemanfaatan bangunan tersebut menyangkut
kepentingan dan keselamatan masyarakat pemakai/pemanfaat bangunan tersebut,
tertib pembangunannya serta kelestarian lingkungan hidup.
Ada 3 (tiga) katagori kegiatan yang
tercakup dalam jenis usaha jasa konstruksi menurut UU No. 18 Tahun 1999, yaitu
:
1.
perencana konstruksi yaitu yang
memberikan layanan jasa perencanaaan dalam konstruksi yang meliputi rangkaian
kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai
dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi, ini umumnya disebut
Konsultan Perencana.
2.
pelaksana konstruksi yaitu yang
memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi
rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan
lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi, yang
umumnya disebut Kontraktor Konstruksi.
3.
pengawasan konstruksi yaitu kegiatan
yang memberikan layanan jasa pengawasan baik sebagian atau keseluruhan
pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai
dengan penyerahan akhir konstruksi, ini biasa disebut Konsultan Pengawas.
Perusahaan jasa konstruksi yang
diperbolehkan berusaha adalah :
1.
Perusahaan Badan Usaha Nasional
berbadan hukum yang dibagi dalam :
a.
Perusahaan Nasional berbadan hukum seperti Perseroan terbatas
b.
Perusahaan bukan berbadan hukum seperti CV, Fa, Pb, Koperasi, dsb.
2. Badan Usaha asing
yang dipersamakan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 51 tahun 2008
Pagi
ini saya dapat kiriman PP No 51
tahun 2008 tgl 20 Juli 2008 tentang Pajak atas penghasilan dari kegiatan usaha
Jasa Konstruksi
Berikut ini sedikit ringkasan dari PP No 51 tahun 2008
dimaksud.
a. Dalam PP ini, yang dimaksud
dengan :
- Jasa
Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi; layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi; dan layanan
jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
- Pekerjaan
konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup ekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan
masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain.
- Perencanaan
konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi
yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan
fisik lain.
- Pelaksanaan
konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi
yangmampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di
dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi
layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan dan pembangunan
(enggineering, procurement and construction) serta model penggabungan
perencanaan dan pembangunan (design and build)
- Pengawasan
Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang
mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal sampai selesai dan
diserahterimakan.
- Pengguna
Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang
memerlukan layanan jasa konstruksi.
- Penyedia
Jasa adalah Orang Pribadi atau badang termasuk bentuk usaha tetap yang
kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai
perencana konstruksi, pelaksanan konstruksi dan pengawas konstruksi maupun
sub-subnya.
- Nilai
Kontrak Jasa konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak
jasa konstruksi secara keseluruhan.
b. Atas Penghasilan dari usaha
Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final
c. Tarif PPh untuk usaha
Jasa Konstruksi adalah sbb :
- 2% (dua
persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa
yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
- 4% (empat
persen) untuk pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa
yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
- 3% (tiga
persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
selain penyedia jasa dimaksud dalam point 1 dan 2 di atas [atau dilakukan
oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi menengah atau kualifikasi
usaha besar];
- 4% (empat
persen) untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
- 6% (enam
persen) untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
d. Dalam hal penyedia jasa
adalah Bentuk Usaha Tetap (BUT), maka tarif tersebut tidak termasuk Branch
Profit Tax(PPh pasal 26 ayat 4).
e. Sisa laba dari BUT setelah
PPh yang bersifat final, dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan pasal 26 (4)
UU PPh atau sesuai Tax Treaty
f. Tatacara pembayaran PPh yang
bersifat final tersebut :
- dipotong oleh pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam
hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak
- disetor sendiri oleh penyedia Jasa, dalam hal pengguna
jasa bukan merupakan pemotong Pajak.
g. Besarnya
PPh yang dipotong atau disetor sendiri adalah :
- jumlah
pembayaran, tidak termasuk PPN dikalikan tarif PPh sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 ayat (1) PP 51 tahun 2008; atau
- jumlah
penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif PPh sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) PP 51 tahun 2008 dalam hal PPh disetor
sendiri oleh Penyedia Jasa
h. Masa Peralihan
Terhadap
kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur :
- untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak
sampai dengan anggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh diatur berdasarkan PP No 140 tahun 2000 tentang PPh
atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
- untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak
setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh berdasarkan PP 51 tahun
2008
2. PENYEDIA JASA KONSTRUKSI
Banyak
motivasi wajib pajak melakukan permohonan Keberatan atas suatu Surat Ketetapan
Pajak yang dihasilkan dari suatu pemeriksaan pajak, beberapa diantaranya karena
wajib pajak yakin ada kesalahan dalam penetapan pajaknya dan ingin disesuaikan,
seperti kasus sengketa yang akan penulis uraikan berikut ini tentu sesuai sudut
pandang penulis dalam menginterprestasikan suatu ketentuan perpajakan. Adapun
kasus sengketa kali ini penulis rangkai dan beri judul ” Sekilas Tentang Jasa
Konstruksi”.
Tulisan ini bermula saat penulis
yang bertugas sebagai penelaah keberatan, disodori beberapa bukti untuk
mendukung keberatan wajib pajak atas suatu produk ketetapan SKPKB PPh Pasal 4
ayat (2) yaitu biaya-biaya pengeluaran real atas barang yang
meliputi pembayaran instalasi listrik, pembelian material, dan lain-lain dalam
rangka pekerjaan konstruksi dengan penegasan bahwa biaya tersebut bukanlah fee yang
diterima yang harus dikenakan pajak. Dalam kasus ini menurut penelaahan penulis
ada salah persepsi tentang penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Jasa
Konstruksi yang adalah merupakan pengenaan pajak yang bersifat Final.
Seperti diketahui bersama bahwa Jasa
Konstruksi adalah salah satu jenis jasa yang atas penghasilannya dikenakan PPh
Final hal ini berlaku sejak tahun 2008 saat diterbitkannya Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 51 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Sebelumnya dalam PP 140 tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi
dijelaskan bahwa secara umum penghasilan atas jasa konstruksi tidak bersifat
Final.
Pengenaan PPh Final sendiri
bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung
pengenaan Pajak Penghasilan sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib
Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih memberikan
kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Implementasi PP Nomor 51 Tahun
2008
Pengertian
Jasa Konstruksi adalah layanan
jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan
jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah
keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan
beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal,
elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Subjek Pajak
Subjek pajak dalam hal ini adalah
Kontraktor atas Pelaksanaan Konstruksi tersebut yaitu orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi
yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya
pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model
penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering,
procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan
pembangunan (design and build).
Objek Pajak
Kontraktor yang meliputi orang
pribadi atau badan yang dinyatakan ahli dan profesional tersebut diatas, akan
dikenakan Pajak Penghasilan dari kegiatan yang meliputi :
1.
Jasa Perencanaan Konstruksi,
yaitu pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
2.
Jasa Pelaksanaan Konstruksi, pemberian
jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional
di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan
kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk
bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi
terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement
and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan
(design and build).
3.
Jasa Pengawasan Konstruksi, pemberian
jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional
di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan
pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan
diserahterimakan.
Tarif
PPh Final
Dalam PP 51 dijelaskan bahwa Atas
penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dengan tarif sebagai berikut :
Jasa
Perencanaan Konstruksi
·
4% (empat persen) untuk Perencanaan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi
usaha; dan
·
6% (enam persen) untuk Perencanaan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki
kualifikasi usaha.
Jasa Pelaksanaan Konstruksi
·
2% (dua persen) untuk Pelaksanaan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi
usaha kecil;
·
4% (empat persen) untuk Pelaksanaan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki
kualifikasi usaha;
·
3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa.
Jasa Pengawasan
·
4% (empat persen) untuk Pengawasan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi
usaha; dan
·
6% (enam persen) untuk
Pengawasan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha.
Dasar
Pengenaan Pajak
Penghitungan PPh Final atas Jasa
konstruksi sebagaimana diatur dalam PMK-187/PMK.03/2008 Pasal
4 ayat (2) dan (3) adalah sebagai berikut :
·
Jumlah pembayaran, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dikalikan tarif Pajak Penghasilan atas jenis
Jasa Konstruksi yang dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran,
dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak.
·
Jumlah penerimaan pembayaran, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan taril Pajak Penghasilan atas jenis
Jasa Konstruksi yang disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal
Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.
Berdasarkan ketentuan ini dapat
diperjelas bahwa nilai yang dimaksud adalah sesuai dengan yang dijelaskan dalam
pasal 4 ayat (4) yaitu Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan
pembayaran yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi,
dimana Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam
satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan (termasuk di dalamnya
Jasa/Fee dan Material).
Saat Terutang
Berdasarkan pasal yang sama yaitu
Pasal 4 PMK-187/PMK.03/2008 disimpulkan bahwa saat terutang PPh Final atas
Jasa konstruksi adalah Saat Pembayaran atau diterimanya pembayaran (cash
basis) bukan saat munculnya piutang (accrual basis).
Pemotongan Oleh Pengguna Jasa
Dalam Pasal 4 ayat (1)
PMK-187/PMK.03/2008 dijelaskan bahwa atas pembayaran atau pelunasan PPh Final
atas Jasa Konstruksi dilakukan melalui :
1.
Dipotong oleh Pengguna Jasa pada
saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
2.
Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa,
dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.
Saat
Pemotongan PPh Final Jasa Konstruksi
Pada tanggal 18 Juli 2013 PT.
Nusahati menerima tagihan dari PT. Nusa Karya atas proyek pembangunan gedung
milik PT. Nusahati. Kemudian pembayaran tagihan itu dilakukan pada bulan 17
Agustus 2013. Maka pemotongan PPh Final jasa konstruksi wajib dilakukan pada
bulan Agustus 2013 (bulan pembayaran), hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat
(2) PMK Nomor 187/PMK.03/2008. Adapun masa pemotongan PPh ini dibuktikan
dengan tanggal yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Final dimana, untuk
tagihan tersebut tanggal yang harus tercantum dalam bukti pemotongan PPh
maksimal tanggal 31 Agustus 2013.
Saat Penyetoran PPh Final Jasa
Konstruksi
PPh Final jasa konstruksi dilakukan
paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan
terutangnya PPh Final jasa konstruksi.
Mengacu pada contoh di atas, PT.
Nusahati diwajibkan menyetorkan PPh Final jasa konstruksi yang dipotong
tersebut paling lambat pada tanggal 10 September 2013. Jika tanggal 10 itu
jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka
sesuai ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran pajak bisa
dilakukan pada hari kerja berikutnya. Penyetoran PPh Final dilakukan dengan
menggunakan SSP di mana satu SSP digunakan untuk penyetoran seluruh PPh Final
jasa konstruksi yang dipotong di bulan yang bersangkutan.
Saat Pelaporan SPT Masa PPh
Final Jasa Konstruksi
Pelaporan PPh Final jasa konstruksi
dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh Final lainnya (seperti pemotongan PPh
Final sewa tanah/bangunan, dividen). Pelaporan menggunakan formulir SPT Masa
PPh Pasal 4 Ayat (2)—kode formulir F.1.1.32.04—dan disampaikan ke KPP tempat
pemotong PPh terdaftar.
Pelaporan harus dilakukan paling
lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh
Final. Seperti contoh di atas, PT Nusahati wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal
4 Ayat (2) ke KPP tempatnya terdaftar paling lambat tanggal 20 September 2013.
Dan jika tanggal 20 itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu maupun
libur nasional, maka pelaporan SPT Masa dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
Penyetoran Sendiri Oleh Kontraktor
Apabila pengguna jasa bukan pemotong
PPh, maka kontraktor selaku pemberi jasa dan penerima penghasilan wajib
menyetorkan sendiri PPh Final yang terutang tersebut.
1.
Penyetoran sendiri PPh Final oleh si pemberi jasa dilakukan paling lambat pada
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya
pembayaran (cash basis). Jika tanggal 10 itu jatuh tepat pada hari
libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka sesuai ketentuan Pasal 3
PMK Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran pajak bisa dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Penyetoran sendiri PPh Final dilakukan dengan menggunakan SSP di
mana satu SSP digunakan untuk penyetoran seluruh PPh Final jasa konstruksi di
bulan yang bersangkutan yang belum dipotong oleh pengguna jasa.
2.
Pelaporan sendiri PPh Final jasa konstruksi oleh kontraktor yang melakukan
penyetoran sendiri juga dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh Final lainnya
(seperti PPh Final sewa tanah dan bangunan, dan PPh Final lainnya yang tidak
dipotong oleh pengguna jasa). Pelaporan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal
4 Ayat (2)—kode formulir F.1.1.32.04—dan disampaikan ke KPP tempat kontraktor
terdaftar. Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan
berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran imbalan jasa konstruksi. Dan
jika tanggal 20 itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu maupun
libur nasional, maka pelaporan SPT Masa dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
Penyetoran sendiri PPh Final jasa
konstruksi ini juga seringkali diminta untuk dilakukan apabila kontraktor tidak
dapat memperlihatkan kepada pemeriksa pajak formulir bukti pemotongan PPh Final
dari si pengguna jasa. Dalam hal ini besar kemungkinan kontraktor dapat dikenai
sanksi bunga karena dianggap terlambat menyetorkan sendiri PPh Final tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan PP 51 Tahun
2008 sebagaimana diubah terakhir dengan PP 40 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, dan PMK-187/PMK.03/2008 sebagaimana
diubah terakhir dengan PMK-153/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, Pelaporan, Dan Penatausahaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari Usaha Jasa Konstruksi serta SE-05/PJ.03/2008 Tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, maka dapat lah disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
1.
Pengenaan PPh Final bertujuan untuk
memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak
Penghasilan sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum
bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya.
2.
Dalam penghitungan Pajak Penghasilan
Final, dihitung berdasarkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu jumlah
pembayaran/jumlah penerimaan pembayaran yang merupakan bagian dari
Nilai Kontrak Jasa Konstruksi, dimana Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah
nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan
(termasuk di dalamnya Jasa/Fee dan Material).
3.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan
atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal,
dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu
bangunan atau bentuk fisik lain.
Maka sesuai dengan kasus yang
penulis tangani di atas, atas keberatan wajib pajak terkait sengketa DPP Jasa
Konstruksi dimana pemeriksa menggunakan dasar penghitungan berdasarkan Nilai
Kontrak Jasa Konstruksi sudah tepat walaupun wajib pajak dapat memisahkan
material dan jasa yang diberikan kepada Penyedia Jasa, yang membuat saya
bertanya dari mana wajib pajak memiliki bukti pembelian material yang meliputi
semen, pasir besi uril dan lain sebagainya? karena wajib pajak sendiri mengakui
bahwa kegiatan membangun tidak dilakukan oleh perusahaan sendiri melainkan oleh
Penyedia Jasa Konstruksi…. tapi sudahlah… toh seorang penelaah tidak elok
mempertanyakan hal-hal di luar sengketa :D.
Dasar Hukum
·
UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (Pasal 4 ayat (2) huruf d)
·
PP 51 Tahun 2008 sebagaimana diubah
terakhir dengan PP 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Jasa
Konstruksi
·
PMK-187/PMK.03/2008 sebagaimana
diubah terakhir dengan PMK-153/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran,
Pelaporan, Dan Penatausahaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa
Konstruksi.
·
SE-05/PJ.03/2008 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi
3
HAL PENTING SEPUTAR USAHA JASA KONSTRUKSI YANG WAJIB DIPAHAMI
Upaya
penyelesaian sengketa konstruksi meliputi Mediasi, konsiliasi; dan arbitrase.
Yang menarik adalah dalam UU No.2/2017 mengatur selain tahapan penyelesaian
ini, para pihak dalam hal ini penyedia dan pengguna jasa konstruksi dapat
membentuk dewan sengketa.”
Di beberapa kesempatan kami sering
ditanyakan terkait masalah hukum konstruksi, misalnya,: “aspek hukum
apa saja yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi?”
Sebelum penjelasan ini lebih jauh, perlu untuk kita pahami
apa yang dimaksud dengan pekerjaan konstruksi, dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor
2 Tahun 2017 tentang Usaha Jasa Konstruksi (“UU No. 2/2017”) bahwa:
“Pekerjaan Konstruksi adalah
keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian,
pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.”
Jadi, pekerjaan pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan
maupun pembongkaran, hingga pembangunan kembali suatu bangunan jelas termasuk
dalam pekerjaan konstruksi.
Perlu juga diketahui bahwa Badan Usaha Jasa Konstruksi
sesuai dengan UU No.2/2017, mempunyai kualifikasi kecil, menengah dan besar,
hal ini dilihat dari penjualan tahunan, kemampuan keuangan, ketersediaan tenaga
kerja konstruksi dan kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi.
Kualifikasi untuk menentukan batasan dan kemampuan usaha dan segmentasi pasar
usaha jasa konstruksi.
Misalnya, Badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi menengah
hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko
sedang; berteknologi madya; dan berbiaya sedang. Sebaliknya, Badan usaha Jasa
Konstruksi kualifikasi besar yang berbadan hukum dan perwakilan usaha Jasa
Konstruksi asing hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar
yang berisiko besar, berteknologi tinggi; dan berbiaya besar.
Sehingga, menjadi penting bagi para pelaku usaha khususnya
yang bergerak di bidang konstruksi untuk memahami hal apa saja yang wajib
diketahui dalam menjalankan usahanya. Hal ini agar tidak menimbulkan kerugian
dikemudian hari yang lebih besar, setidaknya dapat mencegah terjadinya
perselisihan diantara pengguna dan penyedia jasa konstruksi.
1.
Legalitas
Usaha Jasa Konstruksi
Setiap
usaha orang perseorangan yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi menurut
UU No. 2/2017 wajib memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan. Begitu juga
Setiap badan usaha Jasa Konstruksi yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi
wajib memiliki Izin Usaha.
Tanda
Daftar Usaha Perseorangan diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota
kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya. Kewenangan ini
juga sama untuk Izin Usaha yang berlaku bagi Badan Usaha atau Badan Hukum.
Meskipun
pemberian izin dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/kota, tetapi Izin Usaha dan
Tanda Daftar Usaha Perseorangan berlaku untuk melaksanakan kegiatan Usaha Jasa
Konstruksi di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Khusus
untuk Badan Usaha Konstruksi menurut UU No. 2/2017 diwajibkan memiliki
Sertifikasi Badan Usaha (SBU), sertifikasi ini paling sedikit memuat jenis
usaha, sifat usaha, klasifikasi dan kualifikasi usaha. Untuk mendapatkan
Sertifikat Badan Usaha, pelaku usaha atau badan usaha Jasa Konstruksi harus
mengajukan permohonan kepada Menteri melalui lembaga Sertifikasi Badan Usaha
yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha terakreditasi.
Yang
tidak kalah pentingnya, terkait dengan pengakuan pengalaman usaha, dalam UU No.
2/2017 juga dikatakan bahwa setiap badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi
menengah dan besar harus melakukan registrasi pengalaman kepada Menteri.
Registrasi
ini dibuktikan dengan adanya tanda daftar pengalaman. Daftar pengalaman ini,
paling tidak terdapat nama paket pekerjaan, pengguna jasa, tahun pelaksanaan
pekerjaan, nilai pekerjaan dan kinerja penyedia jasa. Semua data pengalaman
menyelenggarakan Jasa Konstruksi tersebut harus yang sudah melalui proses serah
terima.
2.
Kewajiban
dan Tanggung Jawab Penyedia Jasa Konstruksi
Tanggung
jawab dalam pelaksanaan jasa kontruksi dalam hal ini berkaitan dengan kegagalan
bangunan, Menurut Pasal 1 angka (10) UU No.2/2017 bahwa Kegagalan Bangunan
adalah suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan
setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi.
Kewajiban
dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa
harus memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan
(SK4)). Hal ini diatur dalam Pasal 59 UU No.2/2017. Berkaitan hal ini maka ada
kewajiban baik kepada pengguna jasa maupun penyedia jasa konstruksi agar
memberikan pengesahan atau persetujuan terhadap beberapa hal, antara lain:
1.
Hasil pengkajian, perencanaan,
dan/atau perancangan;
2.
Rencana teknis proses pembangunan,
pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
3.
Pelaksanaan suatu proses
pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
4.
Penggunaan material, peralatan
dan/atau teknologi; dan/atau
5.
Hasil layanan Jasa Konstruksi
Sebab,
apabila terjadi kegagalan bangunan, maka akan dilihat waktu kegagalan tersebut
terjadi, untuk menentukan siapa yang dapat dimintai pertanggung jawaban.
Pengaturannya sebagaimana dalam Pasal 65 UU No. 2/2017, yang menyatakan:
6.
Penyedia Jasa wajib bertanggung
jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan
rencana umur konstruksi.
7.
Dalam hal rencana umur konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dari 10 (sepuluh) tahun, Penyedia Jasa
wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu paling lama
10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan Jasa
Konstruksi.
8.
Pengguna Jasa bertanggung jawab atas
Kegagalan Bangunan yang terjadi setelah jangka waktu yang telah ditentukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
9.
Ketentuan jangka waktu
pertanggungjawaban atas Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus dinyatakan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Kenapa
harus ditentukan pertanggungjawaban atas kegagalan ini? Sebab UU No. 2/2017
mengatakan ada kewajiban baik Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa untuk
memberikan ganti kerugian dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan
3.
Kontrak
Kerja Konstruksi
Kontrak
Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan
hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi. Hal secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 angka 8 Undang Undang Nomor
2 Tahun 2017 tentang Usaha Jasa Konstruksi (“UU No.2/2017”).
Menurut pengaturannya, kontrak kerja konstruksi paling tidak mencakup pengaturan mengenai:
Menurut pengaturannya, kontrak kerja konstruksi paling tidak mencakup pengaturan mengenai:
1.
Para pihak, memuat secara jelas
identitas para pihak;
2.
Rumusan pekerjaan, memuat uraian
yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan,
lumsum, dan batasan waktu pelaksanaan;
3.
Masa pertanggungan, memuat tentang
jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia
Jasa;
4.
Hak dan kewajiban yang setara, memuat
hak Pengguna Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan kewajibannya untuk
memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak Penyedia Jasa untuk memperoleh
informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan layanan Jasa
Konstruksi;
5.
Penggunaan tenaga kerja konstruksi,
memuat kewajiban mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat;
6.
Cara pembayaran, memuat ketentuan
tentang kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan Jasa
Konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;
7.
Wanprestasi, memuat ketentuan
tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana diperjanjikan;
8.
Penyelesaian perselisihan, memuat
ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
9.
Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi,
memuat ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat
tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
10.
Keadaan memaksa, memuat ketentuan
tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
11.
Kegagalan Bangunan, memuat ketentuan
tentang kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas Kegagalan Bangunan
dan jangka waktu pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan;
12.
Pelindungan pekerja, memuat
ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja serta jaminan sosial;
13.
Pelindungan terhadap pihak ketiga
selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi
suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau
kematian;
14.
Aspek lingkungan, memuat kewajiban
para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
15.
Jaminan atas risiko yang timbul dan
tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi
atau akibat dari Kegagalan Bangunan; dan
16.
Pilihan penyelesaian sengketa
konstruksi.
Dari
pemahaman di atas, menunjukan betapa penting bagi para pelaku usaha baik
sebagai pengguna maupun penyedia jasa khususnya yang berkaitan dengan Jasa
konstruksi dituntut untuk mengerti dan memahami secara cermat segala sesuatu
yang dituangkan kontrak kerja konstruksi.
Sengketa
yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar
musyawarah untuk mencapai kemufakatan. Namun, apabila dalam hal musyawarah para
tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya
penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Dalam
hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi
para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata
cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
Dalam
hal upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa
sebagaimana pemilihan keanggotaan dewan sengketa dilaksanakan berdasarkan
prinsip
profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
Artinya,
para pihak harus menunjuk pihak lain yang dianggap kompeten dan mempunyai
pengalaman dalam hal penyelesaian sengketa.
3. AUDITOR
Audit Konstruksi Proyek Infrastruktur
LAGI-LAGI konstruksi bangunan dan fasilitas publik
kembali menelan korban. Kali ini beton dinding underpass Bandara Soekarno-Hatta
sepanjang 20 meter ambruk karena longsor sepanjang jalan underpass. Dua orang
karyawan maintenance Garuda yang sedang melintas di bawah konstruksi underpass
menjadi korban, satu meninggal dan satunya masih dirawat di RS. Kejadian
ambrolnya konstruksi underpass seolah mengikuti jejak gagal konstruksi yang
semakin sering terjadi dan menelan banyak korban akhir-akhir ini. Tercatat
dalam 2 bulan terakhir sudah terjadi lima kali bencana infrastruktur.
Berbagai bencana konstruksi
bangunan dan fasilitas publik itu sebenarnya tidak semata lantaran gagalnya
sistem antisipasi bencana alam dalam desain konstruksi infrastruktur nasional
kita, tetapi juga disebabkan tingginya intensitas bencana alam dan lingkungan
itu. Hujan deras yang terus terjadi memicu banjir, tanah longsor, rekahan,
hingga ambles. Belum lagi, bencana gempa juga telah berkontribusi pada
perubahan struktur dan daya tahan bangunan.
Sayangnya, berdasarkan
pendapat pakar manajemen infrastruktur, Muhamad Ale Berawi (2018), banyaknya
kecelakaan dan intensitas bencana infrastruktur terjadi lebih karena kegagalan
konstruksi. Dinilai gagal karena usia bangunan infrastruktur atau fasilitas
publik itu masih seusia jagung. Konon, bangunan infrastruktur itu sudah diuji
daya tahannya termasuk uji kualitas konstruksi berkali-kali hingga sudah layak
dipergunakan untuk umum.
Mendesak audit rutin
Era pemerintahan Jokowi di periode pemerintahan pertama ini memang tergolong paling agresif dalam pembangunan proyek infrastruktur. Bayangkan hanya kurang dari empat tahun ini, pemerintah sudah mampu membangun jalan, jembatan, bendungan, bandara, serta pelabuhan sepanjang 878 km, yang berarti hampir 15 kali panjang infrastruktur yang dibangun pada era pemerintahan sebelumnya. Genjotan pembangunan infrastruktur yang masif dan merata di seluruh RI memang direspons positif, khususnya bagi kalangan usaha dan investasi nasional dan asing. Karena dengan hadirnya infrastruktur yang baik dengan standar yang layak tak hanya mampu meningkatkan akses kemudahan transportasi nasional. Namun, secara langsung meningkatkan daya saing ekonomi nasional di mata investor asing.
Tercatat, terjadi kenaikan minat investasi asing di RI mencapai rata-rata 23%, pascapemerintah membangun infrastruktur yang masif dan merata di hampir seluruh Indonesia. Sayangnya, pascakebijakan infrastruktur yang agresif itu, seperti juga terjadi pada proyek pemerintah yang lainnya, di saat yang sama pemerintah alpa melakukan pengawasan, khususnya audit terstruktur dan berkelanjutan terhadap daya tahan konstruksi infrastruktur. Uji kekuatan, keamanan, dan keselamatan infrastruktur secara rutin dan tuntas.
Era pemerintahan Jokowi di periode pemerintahan pertama ini memang tergolong paling agresif dalam pembangunan proyek infrastruktur. Bayangkan hanya kurang dari empat tahun ini, pemerintah sudah mampu membangun jalan, jembatan, bendungan, bandara, serta pelabuhan sepanjang 878 km, yang berarti hampir 15 kali panjang infrastruktur yang dibangun pada era pemerintahan sebelumnya. Genjotan pembangunan infrastruktur yang masif dan merata di seluruh RI memang direspons positif, khususnya bagi kalangan usaha dan investasi nasional dan asing. Karena dengan hadirnya infrastruktur yang baik dengan standar yang layak tak hanya mampu meningkatkan akses kemudahan transportasi nasional. Namun, secara langsung meningkatkan daya saing ekonomi nasional di mata investor asing.
Tercatat, terjadi kenaikan minat investasi asing di RI mencapai rata-rata 23%, pascapemerintah membangun infrastruktur yang masif dan merata di hampir seluruh Indonesia. Sayangnya, pascakebijakan infrastruktur yang agresif itu, seperti juga terjadi pada proyek pemerintah yang lainnya, di saat yang sama pemerintah alpa melakukan pengawasan, khususnya audit terstruktur dan berkelanjutan terhadap daya tahan konstruksi infrastruktur. Uji kekuatan, keamanan, dan keselamatan infrastruktur secara rutin dan tuntas.
Harus diakui, sejak keran
agresivitas proyek infrastruktur didengungkan pemerintah, audit yang dilakukan
rutin hanya audit cost and benefit recovery. Hanya menilai dan menguji tingkat
biaya dan waktu penyelesaian proyek, tanpa lebih komprehensif pada uji daya
tahan, keamanan, keselamatan, serta respons intensitas bencana alam.
Bahkan untuk uji dan audit
tingkat respons infrastruktur pada intensitas bencana alam, untuk menguji
sejauhmana daya tahan konstruksi, justru sering terlupakan. Padahal,
sebagaimana direkomendasikan Bank Dunia, dalam laporan evaluasi Infrastruktur
Global (2017), setiap proyek infrastruktur diwajibkan melakukan audit
konstruksi rutin/reguler. Apalagi, infrastruktur pada negara-negara miskin
berkembang di dunia ketiga yang dicirikan dengan minimnya teknologi dan
pemahaman baik atas berbagai potensi bencana alam yang ada.
Audit konstruksi rutin mendesak dilakukan. Bukan sekadar mengantisipasi potensi dan peluang bencana pascaselesainya proyek karena RI sudah lama dikenal sebagai wilayah ring of fire yang memiliki peluang bencana alam yang sangat tinggi, tetapi juga berperan strategis dalam upaya mencegah pemborosan dana negara.
Audit konstruksi rutin mendesak dilakukan. Bukan sekadar mengantisipasi potensi dan peluang bencana pascaselesainya proyek karena RI sudah lama dikenal sebagai wilayah ring of fire yang memiliki peluang bencana alam yang sangat tinggi, tetapi juga berperan strategis dalam upaya mencegah pemborosan dana negara.
Harus diakui proyek
infrastuktur di Indonesia masih dikerjakan tradisional, termasuk dalam proses
audit konstruksinya. Padahal di negara-negara maju, seperti Jepang, proses
audit konstruksi terus-menerus dilakukan berbagai pihak dengan melibatkan semua
komponen. Dengan membentuk tim audit konstruksi nasional yang keberadaannya
hingga ke level pemerintah desa, infrastruktur diawasi sejak proses pembangunan
fisik, hingga proyek tuntas.
Pemerintah Jepang memang
menggalang dukungan publiknya untuk turut mengawasi proyek infrastruktur,
termasuk berperan dalam mengingatkan berbagai hasil kerja yang dilakukan
pekerja sehari-hari. Bahkan peran publik itu diakomodasi pemerintah dengan
membangun desk audit infrastruktur hingga tingkat desa yang turut mengevaluasi
kualitas proyek infrastruktur. Dengan keterlibatan publik itu, pemerintah
Jepang, khususnya instansi yang terkait langsung dalam tugas standardisasi
infrastruktur nasional, memperoleh data dan informasi akurat, serta mengetahui karakter
serta struktur tanah dari warga sekitar lokasi.
Sayangnya
di Indonesia nyaris tak pernah dikembangkan partisipasi publik dalan audit
konstruksi infrastruktur. Apalagi, setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan
pembangunan infrastruktur (khususnya proyek pertolan berbayar), yang kian
menjauhkan peran dan tanggung jawab publik untuk bersama pemerintah merawat
keamanan, kekuatan dan keselamatan infrastuktur.
Pascapenyelesaian proyek
hingga masa uji coba selesai, pengembang/kontraktor pembangunan proyek infrastruktur
hanya berpikir ‘kapan balik modal’, an sich, tanpa berpikir lagi kekuatan
konstruksi, keamanan, dan keselamatan bangunan yang bermakna bagi keamanan
penggunanya.
Kalkulasi bisnis dan
investasi yang menonjol tanpa diimbangi desain keamanan, kekuatan, dan
keselamatan calon penggunanya. Di saat yang sama, sudah tak mau tahu dengan
kondisi infrastruktur yang banyak mengancam keamanan dan keselamatan
penggunanya. Sikap demikian disebabkan sistem tata kelola infrastruktur yang
jauh dari partisipasi publik meski mereka merasakan perbaikan infrastruktur di
mana-mana.
Oleh karena itu, guna
mencegah peluang bencana infrastruktur terjadi di masa datang, pemerintah
selaku regulator melalui instansi terkait harus terus melakukan inovasi sistem
dan audit konstruksi, keamanan dan keselamatan berkelanjutan, serta
meningkatkan kualitas teknologi audit infrastruktur guna memastikan bangunan
infrastruktur yang dikerjakan tak hanya memiliki konstruksi teknis mumpuni dan
teruji aman dalam jangka panjang, tetapi juga terbukti responsif menghadapi
aneka bencana alam.
Hanya dengan itu, pembangunan
proyek infrastruktur yang agresif di era Jokowi tak hanya untuk tujuan
peningkatan daya saing investasi nasional an sich. Namun, sekaligus mampu
meningkatkan derajat keamanan dan keselamatan rakyatnya sebagai pengguna
kesehariannya.
Maka belajar dari maraknya
bencana infrastruktur belakangan ini, pemerintah selaku regulator wajib
menggelar audit konstruksi secara berkelanjutan. Pemerintah juga melakukan
evalusi total pada proyek infrastruktur lainnya di berbagai daerah yang
biasanya dikerjakan dengan target waktu mepet, dengan alasan efisiensi biaya,
waktu dan kebutuhan sehingga menyebabkan kualitas konstruksi dan daya tahan
bangunan infrastruktur kurang mendapat perhatian.
Rakyat tidak berharap agresivitas proyek infrastruktur justru meningkatkan agresivitas bencana dengan menelan korban rakyat tak berdosa. Intensitas dan keberlanjutan audit infrastruktur semestinya berlangsung sepanjang massa, bukan sekadar diuji coba pascaproyek diserahkan kepada negara.
Rakyat tidak berharap agresivitas proyek infrastruktur justru meningkatkan agresivitas bencana dengan menelan korban rakyat tak berdosa. Intensitas dan keberlanjutan audit infrastruktur semestinya berlangsung sepanjang massa, bukan sekadar diuji coba pascaproyek diserahkan kepada negara.
4.
5W+1H DALAM PERENCANAAN MANAJEMEN
PERENCANAAN
Menurut
G.R.Terry unsur manajemen ada 4: POAC. Perencanaan pengawasan merupakan unsur
manajemen. Perencanaan adalah : Keputusan untuk waktu yang akan datang, apa
yang akan dilakukan, kapan dilakukan dan siapa yang akan melakuakan. Unsur
administrasi ada 7 yaitu:
Ø Organisasi adalah : Kumpulan
orang yang saling kerjasama dan mempunyai tujuan yang sama.
Ø Manajemen adalah :
Pengaturan orang-orang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ø Keuangan.
Ø Kepimpinan adalah :Kemampuan
seseorang untuk mengerakkan orang lain untuk berkerjasama untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan.
Ø Humas.
Ø Perbekalan.
Ø Tata usaha.
Organisasi terbagi atas:
Ø Statis
Ø Dinamis.
Ada suatu target yang akan
dicapai yaitu program. Di dalam suatu perencanaana ada 5 W dan 1H yaitu:- What,
where, who, when. why. 3 kegiatan yang dilakukan didalam perencanaan yaitu:
Kegiatan pokok apa yang akan
dilakuakn secara langsung dikerjakan pada pencapaian tujuan yang akan dicapai.
Kegiatan yang menunjang
aktivitas yang mendukung tujuan teersebut.
Kegiatan Veterial : kegiatan
yang tidak menunjang tetapi tidak sering dihindarkan yaitu: ppl dan pkl.
1. What :
Apa yang
akan dilakukan atau dikerjakan.
Dana sumber yang didapat.
Dana apa yang akan dihubungkan.
Sdm.
Sarana dan prasarana agar
tercapai.
2. Where:
Dimana
kita melakukan kegiatan.
Berpegang kepada aspekbilitas
( kemampuan untuk menyelesaiakan diri ).
Tersedianya tenaga kerja yang
memenuhi berbagai persyaratan guna menjamin kelancaran tugas.
3. When:
Kapan
kita melakukan tugas.
Kemampuan untuk mengelola
waktu.
Memilih waktu yang tepat untuk
mengisi waktu yang luang.
4. Who
Menganalisis kebutuhan tenaga
kerja baik kuantitatif maupun kwlalitatif.
Pola pembinaan karier.
Kebijaksanaan didalam
pengolahan dan pengajian.
Metode dan teknik tentang
pengadaan tenaga kerja yang akan dilaksanakan.
5. Why:
Rencana itu harus mempermudah
suatu pekerjaan sehingga mudah dilaksanakan.
Rencana itu harus mempunyai
rincian yang cermat.
Perencanan bukan merupakan
suatu tindakan melainkan suatu proses. Suatu proses yang masih mempuyai suatu
tindakan –tindakan untuk menuju suatu tujuan. Tidak dibatasi atas startegi yang
akan dilakukan sebelum diambil suatu keputusan karena bisa saja terjadi
perubahan. Contoh: GBHN. Kebijakasanan untuk mencapai tujuan. Adadua komponen
dalam perencanaan :
1.
Perencanan pesimis. Perencanaan yang tidak dapat dilaksankan.
2. Perencanan optimis.
Terlaksana.
Definisi
dan unsur-unsur perencanaan:
1. Garth N. Jone. Perencanaan
adalah : Suatu proses pemilihan dan pengembangan dari pada tindakan yang paling
baik untuk pencapaian tugas.
2. M. Farland. Perencanan
adalah : Suatu fungsi dimana pimpinan kemungkinan menggunakan sebagian
pengaruhnya untuk mengubah daripada wewenangnya.
Bagian atau unsur –unsur dari
perencanaan:
Hasil
akhir (The ends). Spesifikasi dari tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan
bilamana kit akan mencapai.
2. Alat-alat yaitu : Pemilihan
dari kebijaksaan,startegi, prosedur, dan prakteknya.
3. Sumber yaitu: Meliputi kwantitas
mendapatakn dan mengalokasiakn bermacam macam sumber antara lain tenaga kerja
keuangan.
4. Pelakasanan
5. Pengawasan.
Didalam
perencanan ada beberapa tipe:
· Rencana –rencana strategi
plans yaitu: perencanan yang dirancang untuk mrmenuhi tujuan organisasi yang
mengimplemasikan misi yang memberikan alasan yang khas pada orang.
· Perencanan operasional
yaitu: perencanan yang menguraiakan secara lebih terperinci bagaimana rencana
startegi akan tercapai.
Langkah –langkah dalam
penyusunan perencanaan:
· Menentukan misi dan tujuan.
Perumusan misi dipengaruhi oleh nilai-nilai.
· Pengembangan profil
perusahan dan biasanyan mencerminkan keadaan internal dan kemampaun seseorang
atau perusahan.
· Analisa lingkungan
external.Mengidentifikasi cara-cara dalam hal perubahan internal, politik,
ekonomi, sosbud, dan teknologi secara tidak langsung mempengaruhi organisasi.
Identifikasi dan analisis lingkungan ekternal dapat dilakuakn dengan berbagai
metode permulaan
Proses perencanan stategi
formal:
1.
Pemahaman dan perumusan masalah. Untuk mempermudah manager untuk mengidenfikasi
maka pertama kali :
Adakan dulu uji coba secara
sistematis hubungan sebab akibat.
Carilah penyimpangan dan
perubahan dari yang normal.
Konsultasi atau tanya jawab
pada perusahan .
2. Pengumpulan dan analisa
data yang relevan.
Pertama
sekali manager harus mengumpulkan data apa yang diperlukan untuk memutuskan
keputusan apa yang tepat untuk mendapatkan informasi yang tepat.
a. Pengembangan alternatif.
b. Kecendrungan untuk menerima
alternatif keputusan yang pertma kali flexible sering mengidarkan pencapaian
yang terbaik untuk masalah lainya. Pengembangan sejumalh alternatif
memungkinkan manager menolak kecendrungan utuk membuat keputusanyang efektif.
c. Evaluasi alternatif.
Untuk menilai efektifitas ada
2 kriteria :
· Apakah alternatif realistik
bila dihubungkan dengan tujuan dan sdm organisasi seberapa baik alternatif akan
membantu pemecahan masalah.
· Apakah alternatif yang
diberikan sudah merupakan alternatif terbaik.
Rencana – rencana operasional
ada 2 Yaitu:
1.
Rencana tunggal (Single use plan), adalah menentukan langkah
kegiatan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan selesai apa
bila sasaran sudah tercapai (hanya satu kali pakai)
Tipe –
tipe rencana tunggal ada 3 yaitu:
a. Program yaitu : Serangkaian
kegiatan yang mencakup luas yang dapat lihat didalamnya seperti langkah
–langkah pokok untuk mencapai tujuan. Satuan program organisasi yang
bertanggungjawab terhadap kegiatan urutan waktu dan untuk setiap tahap.
b. Proyek adalah: Rencana yang
sekali pakai yang merupakan bagian terpisah dari program. Proyek merupakan alat
dari proyek yang efektif yang mempunyai ruang lingup terbatas.
c. Anggaran adalah: Laporan
sumber daya keuangan yang disusun untuk kegiatan –kegiatan tertentu dalam
jangka waktu tertentu..
2. Rencana – rencana tetap, yaitu pendekatan
–pendekatan yang standart untuk penangaan situasi –situasi yang dapat
dppikirkan dan terjadi secara berulang-ulang.Wujud dari rencana tetap adalah:
a.
Kebijaksanan adalah: Pedoman untuk mengambil keputusan. Kebijakasanan batas
dari penganbilan keputusan membuat keputusan apa yang diambil oleh seorang
manajer.
b. Prosedur adalah: Proses
untuk diketahui apa yang akan dilakukan dengan demikian langkah –langkah itu
menjadi suatu yang rutin dan tugas dari pada adm yang bertujuan untuk
menyerderhanakan supaya tidak berbelit-belit.
c. Aturan atau rulls adalah:
Pernyataan atau ketetentuan bahwa suatu kegiatan tertentu tidak boleh dilakukan
dalam melaksanakan aturan para anggota organisasi tidak mempunyai pilihan
melainkan aturan tersendiri.
Kebaikan
rencana-rancana dari startegi:
1. Memberikan pedoman yang
konsisten bagi kegiatan organisasi.
2. Membantu para manajer dlam
pengambilan keputusan.
3. Meminumkan kesalan karena
sasaran dan tujuan dengan cepat dan tepat.
Kelemahan dari rencana Stategi:
1. Memerlukan investasi waktu
yang cukup lama dan biaya serta orang yang cukup besar.
2. Cendrung membatasi organisasi
hanya terdapat pilihan yang paling rasioanaldan bebas resiko.
Hambatan-hambatan
dalam pembuatan rencana –rencana yang efektif:
1. Kurangnya pengetahuan dalam
berorganisasi.
2. Kurangnya peb\getahuan
lingkungan.
3. Ketidakmampuan terhadap
peramalan efektif.
4. Kesulitan dari biaya.
5. Takut gagal.
6. Pengunaan dari SDM.
2.
PENGAWASAN.
Pengawasan adalah proses
pengamatan dari berbagai organisasi bahwa semua kegiatan yang dicapai dengan
rencan selanjutnya. Sasaran pengawasan itu adalah untuk menunjukan kelemahan
dan kesalahan dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah agar tidak terulang
kembali. Dalam pengawasan pendekatan tidak hanya dilakuakan secara taknik dan
mekanistik tetapi digabungkan dengan pendekatan kepribadian dan pendekatan
keprilakuan agar terjadi proses pengawasan yang mendapatkan hasil sesuai dengan
harapan setiap organisasi. Adabeberapa hak yang bersipat fundamental supay
pengawasan sesuai dengan rencana yaitu:
1.
Berorientasi kepada Efisensi.
2. Berorientasi kepada
Efektifitas.
3. Berorientasi kepada
Produktifitas.
4. Pengawasan dilakukan pada
saat kegiatan berlangsung.
5. Pengawasan dilakukan karena
sikap manusia yang tidak terlepas dari kesalahan.
6. Pengawasan dilakukan sesuai
dengan proses dasar pengawasan yang harus diketahui dan ditaati.
Jenis-jenis
pengawasan.
1.
Pengawasan dari dalam adalah: Pengawasan yang dilakuakan oleh aparat atau unit
dari organisasi itu sendiri yang dibertundak atas nama pimpinan atau organisasi.
2. Pengawasan dari ektern
adalah: Pengawasan yang dilakukan oleh organisasi yang dibentuk dari luar
organisasi dan bertindak untuk organisasi itu sendiri atau pimpinan dan
biasanya permintaan oleh perusahaan.
3. Pengawasan prepentif
adalah: Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dilaksanakan atau dikerjakan
yang bertujuan untuk mencegah kesalan yang terjadi.
4. Pengawasan represif adalah:
Pengawasan yang dilakuakan pad saat kegiatan itu sudah berlangsung yang
bertujuan untuk menjamin kelangsungan pekrejaan.
Beberapa kegiatan sistem dalam
pelaksanan Represif.
1. Sistem
Komperatif.
a.
Mempelajari laporan kemajuan dari pelaksanan pekerjaan dan dibandingkan jadwal
rencana pelaksanaan.
b. Membandingkan laporan
–laporan hasil pelaksanan pekerjaan dengan rencana yang telah diputuskan
sebelumnya.
c. Adakah analisa terhadap
perbedaan tersebut factor yang mempengaruhi.
d. Buatlah penilaian.
e. Buatlah keputusan terhadap
usulan perbaikakannya maupun penyermpurnaan.
2. Sistem
Preivikatif:
a. Tentukan ketentuan yang
berhubungan dengan prosedur pemeriksaan.
b. Buatlah pemerikasaan secara
priodik.
c. Pelajari laporan
perkembangan dari hasil pelaksanaan.
d. Mengadakan penilaian.
e. Putuskan tindakan untuk
membuat suatu keputusan.
3. Sistem
Insepktif adalah: Mengecek kebenaran dari suatu laporan yang dibuat dari pihak
petugas pelaksanaan.
4. Sistem
Investikatif adalah: Sistem yang dilakuakan dengan menitiberatkan terhadap
penyelidikan atau penelitian yang lebih dalam terhadap masalah yang bersifat
negatif dan mengambil keputusan.
CONTOH
KASUS YANG TIDAK SESUAI DENGAN PERENCANAAN DAN PENGAWASAN
1.
Penurunan kualitas pelayanan publik (teridentifikasi dari adanya keluhan
pelanggan /
masyarakat)
seperti misalnya :
Ø Beredarnya produk-produk
makanan yang kurang memperhatikan standar kesehatan.
Ø Banyak beredarnya obat-obat
palsu, pemalsuan produk-produk kosmetik, pemalsuan alat kesehatan dsb.
2.
Terjadi penurunan pendapatan atau profit suatu perusahaan, namun tidak begitu
jelas faktor penyebabnya. Serta berkurangnya kas perusahaan, biaya yang
melebihi anggaran dan adanya penghamburan maupun inefisiensi dalam suatu
perusahaan atau organisasi.
3. Ketidakpuasan pegawai (seperti
misalnya adanya keluhan pegawai, produktifitas kerja yang menurun, dan lain
sebagainya), Banyaknya pegawai atau pekerja yang menganggur dan tidak
terorganisasinya setiap pekerjaan dengan baik, dsb.
Masalah ini sudah seharusnya
menjadi tugas kita bersaman tidak hanya Pemerintah saja kita sebagai masyarakat
juga harus peka terhadap lingkungan sekitar, untuk masalah kesehatan sebaiknya
kita harus berhati-hati dalam membili produk-produk makanan, kosmetik,
kesehatan dsb, agar lebih amannya kita dapat membelinya di tempat-tempat yang
sudah terpercaya hindari belanja di took-toko atau warung-warung kecil usahakan
membeli obat di apotk. Dan tugas pemerintah adalah mengatur , membina dan
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Diantara upaya kesehatan itu antara
lain adalah pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan zat
adiktif dan pengamanan makanan dan minuman. Pengamanan sediaan farmasi dan alat
kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang
disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, kemanan dan kemanfaatan. Pemerintah melakukan
pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya
kesehatan disamping Pemerintah yang memberikan izin terselenggaranya sarana
kesehatan. Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang
berkaitan dengan penyeleggaraan upaya kesehatan dan atau sarana kesehatan baik
yang dilakukan oleh Pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah berwenang
mengambil tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana
kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Kesehatan
ini.
4.
Berkurangnya kas perusahaan, biaya yang melebihi anggaran dan adanya
penghamburan maupun inefisiensi dalam suatu perusahaan atau organisasi serta
terjadi penurunan pendapatan atau profit suatu perusahaan.
Hendaknya suatu perusahaan
melakukan analisa laporan keuangan dengan benar karena analisis keuangan
merupakan proses yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu mengevalusi
posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu,
dengan tujuan untuk menentukan estimasi dan prediksi yang paling mungkin
mengenai kondisi dan kinerja perusahaan pada masa mendatang. Agar biaya yang
keluar tidak memenuhi anggaran dan lebih afektif dan efisian maka suatu
perusahaan atau organisasi harus menerapkan fungsi perencanaan dan pengawasan
dengan sebaik-baiknya. Dengan menetapkan pekerjaan yang sudah dilakukan,
menilai dan mengoreksi agar pelaksanaan pekerjaan itu sesuai dengan rencana
semula.
5.
Ketidakpuasan pegawai (seperti misalnya adanya keluhan pegawai, produktifitas
kerja yang menurun, dan lain sebagainya), tidak terorganisasinya setiap
pekerjaan dengan baik, dsb.
Usahakan hubungan antara
manager dan bawahan harus baik dan terjaga. Sebisa mungkin ada hubungan dua (2)
arah antara manager dan bawahan, bukan hubungan searah dimana manager
terus-terusan memberi perintah kepada bawahan tanpa mau mendengar keluhan dan
perasaan bawahannya. Bila ada hubungan harmonis seperti keluarga dalam suatu
perusahaan maka akan tercipta team kerja yang solid dan kuat dalam menjalankan
perusahaan. Jika kebanyakan anggota organisasi sering membuat kesalahan. Sistem
pengawasan memungkinkan manajer mendeteksi kesalahan tersebut sebelum menjadi
kritis. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan memberikan
implikasi terhadap pelaksanaan rencana, sehingga pelaksanaan rencana akan baik
jika pengawasan dilakukan secara baik, dan tujuan baru dapat diketahui tercapai
dengan baik atau tidak setelah proses pengawasan dilakukan. Dengan demikian
peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu rencana
dan pegawaipun bisa bekerja dengan baik dan memuaskan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar